AnekaNews.top


ANEKA TIPS INFORMASI DAN BERITA
Announcement
.
Random News
Sering ke supermarket atau mall? Pasti tahu apa itu eskalator. Eskalator atau tangga berjalan sudah ... Read More »
Published: Sat, 16 Apr 2016 - 08:53:38
Category: Gaya Hidup
By: AnekaNews.top
Hits: 1/120
Comments: 0/0
Ketika Wanita Sarjana Menjadi Ibu Rumah Tangga

Ketika Wanita Sarjana Menjadi Ibu Rumah Tangga - AnekaNews.top

AnekaNews.top - Ketika Wanita Sarjana Menjadi Ibu Rumah Tangga

Di jaman sekarang ini, memang era yang serba mudah. Mau ngobrol dengan orang asing, bisa lewat jari. Jalan-jalan, ada kendaraan pribadi. Tapi bahagia kah kita? Saya kok tidak yakin, andai ibu dan nenek kita yang lahir di era 60 bahkan 50an itu tahu betapa enaknya hidup di era ini, mereka akan menyesali nasib lalu memilih menjadi perempuan masa kini…

Mengapa? Karena kini perempuan sudah banyak menjadi sarjana. Dan ada tuntutan besar di balik gelar itu. Sedang mereka, yang hanya menempuh pendidikan dasar, bahkan tidak sama sekali, tidak pernah risau soal ini. tak pernah ada yang menuntut. Apanya yang harus dituntut? Wong mereka sudah melakukan tugas mereka sebagai ibu..

Tapi kita, ibu sarjana ini, bukan hanya lingkungan sosial yang bertanya usil, “Nggak kerja apa nggak sayang gelarnya?" Melainkan juga orangtua, yang membatin bahkan mengungkit “Bapak Ibu menyekolahkanmu tinggi-tinggi, kok akhirnya nganggur to nduk…”

Sedih? Pasti
Marah? Sedikit..tapi trus mau ngapain
Malu? Ada
Tak berdaya? Jangan ditanya..

Bu, jika ini yang terjadi padamu, janganlah bersusah hati.. kau tidak sendiri. Ada ribuan ibu lain, yang juga bernasib sama denganmu.
Kita, ibu sarjana ini, semestinya tidak harus bemuram durja. Jika masih saja ada yang kepo soal pilihan kita, mari jawab dengan lantang: “Saya memang sarjana, dan menjadi ibu adalah pekerjaan saya”

Tapi kan nggak semudah itu.. bagaimana jika yang mendesak dan mempertanyakan justru orangtua sendiri?

Bolehlah saya bilang, fenomena ini tidak satu dua. Tapi buanyak jumlahnya. Ada ibu yang di usia sepuhnya bahkan menawarkan diri untuk mengasuh cucu, demi agar anak perempuannya bisa berkarir.

Ada ibu yang tidak betah ngobrol lama-lama dengan tetangga, khawatir akan ditanya “Anaknya sekarang kerja dimana bu?” dan batinnya akan perih dan malu, saat harus menjawab “Nganggur..”
Padahal kita ingin sekali berteriak: “Wooy..enak aja dibilang nganggur. Mengasuh dan mendidik anak dikira mudah?”

Tapi kita sarjana, kawan. Tuntutannya jauh lebih tinggi dari nenek kita yang tidak bersepatu..
Sedih di atas sedih..tatkala desakan itu justru datang dari orangtua yang sangat kita cintai.

Lalu apa yang harus kita lakukan kemudian?
Mari syukuri sebanyak mungkin pilihan ini. Ingat-ingat lagi bahwa amanah berupa anak, pertanggungjawabannya dunia hingga akhirat. Mari banyak-banyak berdoa agar pilihan ini memberi kita keleluasaan untuk maksimal menjaga amanah itu.

Mari ikhlas menjadi ibu rumahtangga. Usir jauh-jauh keterpaksaan lalu menekuri nasib jadi pengangguran. Jika kita ikhlas dan memaknai, masa iya tidak ada jalan..
Teruskan bakti pada orangtua, lebih-lebihkan bakti kita pada mereka. Kita orang muda ini, sudah tercerahkan bahwa menguliahkan anak bukanlah sebuah investasi untuk nantinya bisa “balik modal”. Tapi pemikiran mereka..bisa jadi belum secerah ini.

Saya punya seorang kawan, sarjana cumlaude rumahan, dengan suami yang pekerjaannya pun belum mapan. Kakak dan adik perempuannya, semua berkarir. Ayahnya pun anggota DPRD. Bisa dibayangkan berapa banyak bebannya..

Ia tidak bisa sering-sering mengirimi ibunya uang, sesering kakak adiknya. Bagaimana mau sering, wong hidupnya saja sangat sederhana, bahkan banyak kurangnya.
Tapi setiap datang ke rumah ibunya, ia selalu memijiti ibu, membersihkan rumah hingga pekarangannya, memasak untuk bapak ibunya. Ia lakukan hal yang tidak bisa dilakukan saudaranya.
“Ini baktiku pada bapak ibu. Semoga dengan ini mereka memaafkan pilihanku..” katanya pada saya, dalam sebuah obrolan.

Bakti. Ini kuncinya. Dalam bentuk apa pun yang bisa kita berikan.
Jika semua sudah kita lakukan tapi keluarga masih saja memusuhi? Coba kita lihat lagi. Bisa jadi kita yang terlalu saklek dengan pilihan.
Saya memang mendukung gerakan ibu kembali ke rumah, demi mendidik anak. Tapi jika dalam situasi, si ibu sangat dibutuhkan masyarakat, atau menjadi tulang punggung keluarga (ayah ibunya renta dan sangat bergantung padanya secara ekonomi) sementara penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan itu, bekerja meski untuk sementara juga layak dipertimbangkan..

Atau memiliki sebuah usaha di rumah. Yang ini, tidak semua ibu bisa melakukan. Karena bekerja di rumah butuh skill, kemauan, modal, dan sedikit nekad.

Jika keluarga kita bahagia dan sejahtera, bapak ibu juga tidak kekurangan, namun cibiran tetap ada?
Mungkin kita diminta untuk banyak bersabar. Semoga kelak orangtua kita akhirnya memahami bahwa menyekolahkan anak setinggi mungkin, bukan soal nanti si anak akan bekerja apa. Tapi erat kaitannya dengan kewajiban seorang muslim menuntut ilmu. Insya Allah mereka mendapat balasan yang luar biasa di akhirat kelak..

Jadi, bu, tenangkan hatimu. Kau tidak sendiri. Kita sarjana, dan kita tidak bekerja. Tapi kita masih bisa menjadi anak yang berbakti pada orangtua. Dan ibu yang khidmat pada keluarga. Bukankah di surga malaikat tidak akan memasang plang bertuliskan “Hanya untuk mereka yang bekerja” demi mengusir kita?

Semoga kita bisa memanfaatkan sebanyak mungkin gelar kita, meski tidak bekerja.


Sumber Referensi : FB Wulan Darmanto

‪Semoga bermanfaat.
----------
#menjadi-ibu-rumah-tangga-atau-wanita-karir
#dp-bbm-ibu-rumah-tangga-lucu
#tips-menjadi-ibu-rumah-tangga-dan-wanita-karir
#wanita-berpendidikan-tinggi-dalam-islam
#menjadi-wanita-karir-sekaligus-ibu-rumah-tangga
Title Tags Search:
See Also:
Comment: (0)
No Comment.
Add Comment:
Name* :
Url :
Comment*:
[BB Code] [Smiley]
Code*: 15214
Bookmark and Share